Entri Populer

Jumat, 08 Oktober 2010

Pasar Tanah Abang, Sejarah Panjang Pusat Perdagangan

TERBAKARNYA ribuan kios di Pasar Tanah Abang menambah panjang catatan sejarah bagi pasar tekstil terbesar di wilayah Asia Tenggara itu. Bukan hanya 1,3 juta manusia kehilangan pekerjaan, tetapi ratusan milyar aset para pedagang ikut ludes bersama amukan si jago merah. Selain gemerlap kejayaannya sebagai pusat perdagangan sejak masa imperialis Belanda, sejarah Pasar Tanah Abang memang tidak pernah lepas dari peristiwa kebakaran dan kerusuhan.

ASAL-usul nama Tanah Abang belum diketahui secara pasti, tetapi diperkirakan, nama kawasan itu diambil dari sebuah bukit yang tanahnya berwarna merah. Bukit itu dikelilingi rawa-rawa yang letaknya di sekitar Kali Krukut.

Sebagai sebuah kawasan perdagangan, daerah Tanah Abang mulai berkembang semenjak saudagar kaya dari Belanda, Justinus Vinck, mendirikan pasar di daerah itu tahun 1735. Sebelum dimiliki Justinus Vinck, kawasan Tanah Abang merupakan daerah pertanian dan peternakan milik orang Cina.

Sebagian orang Cina mengusahakan wilayah Tanah Abang untuk membuka kebun tebu dan penggilingan tebu. Ada juga yang membuka lahan kebun kacang, kebun jahe, kebun melati, dan kebun sirih. Pada waktu itu, minyak kacang merupakan komoditas laris. Bekas lahan kebun itu sampai sekarang diabadikan untuk nama jalan di sekitar Tanah Abang.

Pasar Tanah Abang diizinkan beroperasi oleh Pemerintah Hindia Belanda setiap Sabtu. Selain Pasar Tanah Abang, pada waktu itu sudah berdiri Pasar Senen yang beroperasi setiap Senin. Komoditas perdagangan pada waktu itu ditentukan Belanda. Pasar Senen digunakan untuk menjual komoditas sayur-mayur dan keperluan sehari-hari. Adapun Tanah Abang khusus menjual tekstil, kelontong, dan sedikit sayuran. Khusus beras, Belanda mengawasi secara ketat cara penjualan, tempat penjualan, dan peredarannya karena dipandang sebagai komoditas vital.

Bangunan pasar, kala itu, masih berupa bedeng bambu dan beratap rumbia. Pemilik petak, yang umumnya orang Cina, biasanya mendirikan tempat tinggal tidak jauh dari pasar.

PERISTIWA yang banyak mempengaruhi perkembangan perekonomian serta dunia perpasaran pada waktu itu, termasuk Pasar Tanah Abang, ialah peristiwa "pembantaian orang-orang Cina pada tahun 1740". Peristiwa itu terjadi lima tahun setelah Pasar Tanah Abang dibangun.

Selain pembunuhan, kerusuhan yang terjadi meluluhlantakkan harta benda orang- orang Cina, termasuk Pasar Tanah Abang yang waktu itu banyak dihuni orang Cina. Bangunan pasar dan tempat tinggal orang Cina dibakar. Banyak orang Cina menyingkir ke pinggiran setelah peristiwa itu.

Dari dulu, usaha sewa-menyewa di dalam pasar sudah ada. Oleh Pemerintah Belanda, orang Cina diberi kepercayaan memungut cukai pasar. Pedagang beras diwajibkan menyewa tikar yang disediakan mantri pasar meskipun mereka memiliki tikar sendiri. Pemilik warung yang ingin berdagang beras harus membayar cukai dan minta izin kepada orang Cina.

Menginjak tahun 1801, perdagangan di Pasar Tanah Abang makin ramai sehingga memperoleh izin tambahan beroperasi pada hari Rabu. Jadi, dalam sepekan, Pasar Tanah Abang bisa beroperasi hari Rabu dan Sabtu.

Alat tukar yang digunakan pada waktu itu beragam. Selain menggunakan mata uang Cina (gobog) yang terbuat dari tembaga kuning berlubang segi empat di tengahnya, transaksi juga dilakukan dengan mata uang Perancis, Turki, Hongaria, dan Jepang yang beredar di Batavia (Jakarta). Ada lagi mata uang koban, terbuat dari emas asli.

Banyaknya mata uang yang beredar di Batavia itu memunculkan bisnis transaksi jual beli mata uang asing di pinggir jalan atau di pinggir kali. Kalau sekarang disebut money changer. Karena bank penukar belum ada, transaksi dilakukan dari kantung ke kantung pedagang.

Setelah penjajah Belanda makin mapan, penarikan pajak pasar tidak lagi diborongkan kepada orang-orang Cina, tetapi langsung melalui aparat pemerintah. Kini, selain retribusi pasar yang ditarik petugas pasar, masih ada pajak tak resmi yang dipungut preman.

Seiring dengan berkembangnya Pasar Tanah Abang, kawasan itu sering dijadikan lahan rebutan mencari makan. Silih berganti kelompok preman berkuasa di tempat itu. Salah satunya adalah preman asal Timor-Timur, Hercules. Kelompok Timor-Timur itu pernah "berperang" dengan kelompok preman gabungan Betawi dan Madura.

TAHUN 1920 mulai banyak orang Arab berdatangan ke Batavia. Sebagian dari mereka tinggal di sekitar Tanah Abang. Persentasenya, waktu itu, dari 300.000 jiwa warga di Batavia, sebanyak 13.000 jiwa merupakan orang Arab.

Kegemaran orang Arab makan daging kambing dimanfaatkan para pedagang. Semenjak munculnya orang-orang Arab di Batavia, di Pasar Tanah Abang bermunculan pedagang kambing. Hingga kini, selain terkenal sebagai pasar tekstil, Tanah Abang terkenal sebagai pasar kambing.

Para pedagang kambing di Pasar Tanah Abang sekarang ini mengaku bahwa mereka berjualan kambing secara turun- temurun. Bahkan, mereka mengaku berjualan kambing sejak zaman si Pitung, tokoh legenda perjuangan masyarakat Betawi melawan Belanda.

Para pedagang kambing berjualan di tiga lokasi berbeda di pasar itu dan tergabung dalam Himpunan Pedagang Kambing Tanah Abang (HPKT). Eksistensi pedagang kambing di Tanah Abang tak lepas dari sejarah berdirinya pasar itu.

Sampai akhir abad ke-19, Pasar Tanah Abang belum memiliki bangunan permanen, tetapi lantai bawahnya mulai dikeraskan dengan fondasi adukan. Tahun 1913 pernah dilakukan perbaikan bangunan. Tahun 1926 gementee (kotapraja batavia) melakukan pembangunan/perombakan secara permanen.

Pasar Tanah Abang semakin berkembang pesat setelah dibangun Stasiun Tanah Abang. Tempat-tempat peribadatan juga sudah dibangun di kawasan tersebut, mulai dari Masjid Al Makmur hingga klenteng Hok Tek Tjen Sien (malaikat penguasa bumi) yang usianya hampir sama dengan pasar itu.

Ketika itu, penegakan hukum jauh lebih tegas dibandingkan sekarang. Bagi pembuang sampah yang sembrono harus membayar denda. Setiap penduduk yang sudah berusia 15 tahun harus punya KTP. Peraturan polisi dilaksanakan dengan ketat. Tiap kasus diselesaikan dengan cepat tanpa biaya sedikit pun.

Tanah Abang pernah menjadi pangkalan taksi. Jenis kendaraan lain yang sering mangkal di tempat itu, Ebro, kendaraan bertenda dan beroda empat ditarik dua ekor kuda.

Sebagai pusat perdagangan kala itu, Pasar Tanah Abang tak luput dari krisis ekonomi yang terjadi pada masa penjajahan Jepang. Secara umum, semenjak penjajahan Belanda, perusahaan Belanda dan Cina terhenti kegiatannya. Akibatnya, kegiatan Pasar Tanah Abang tak luput dari kekalutan. Persediaan bahan bakar menyusut dengan cepat karena digunakan Jepang untuk kepentingan perang. Bahan makanan pokok, terutama beras semahal emas. Kesempatan itu digunakan para spekulan untuk menimbun bahan sandang maupun pangan.

Penjualan minyak tanah dilakukan menurut jatah. Baru setengah tahun Jepang berkuasa, harga barang-barang di pasaran naik. Pemerintah Jepang sering menangkap para spekulan. Tindakan itu tidak membantu keadaan. Barang-barang kebutuhan semakin menghilang di pasaran, termasuk tekstil.

Toko-toko yang semula penuh barang dagangan menjadi kosong dan tutup. Jepang hanya menjajah 3,5 tahun, namun bagi dunia perdagangan, khususnya Pasar Tanah Abang, merupakan masa paling gelap.

Menurut web site Pasar Tanah Abang, sampai awal tahun 2002, di pasar itu terdapat 7.546 buah tempat usaha dengan jumlah pedagang 4.648 orang. Menempati areal 82.386,5 meter persegi, bangunan Pasar Tanah Abang dibagi enam blok A-F.

Orang yang terlibat kegiatan di Pasar Tanah Abang setiap harinya rata-rata mencapai 21.625 orang, meliputi 10.000 konsumen, 5.500 pedagang, dan 5.500 pembantu kios. Para pedagang mayoritas pedagang tekstil sebanyak 1.831 orang dan pedagang pakaian 2.878 orang. Dari money changer ketengan pada masa penjajahan Belanda, kini di Tanah Abang sudah ada enam bank yang beroperasi.

Hingga kini, Pasar Tanah Abang merupakan pusat perdagangan multietnis. Pelaku bisnis di kawasan itu di antaranya suku Minang, etnis Tionghoa, Arab, dan Betawi.

Seorang sesepuh Pasar Tanah Abang, Lim Kiat Swie (61), yang ditemui Kompas di rumahnya di Jakarta Barat, Sabtu (22/2) siang, mengisahkan, semula Pasar Tanah Abang itu hanyalah serupa pasar pada umumnya. Di sana, hampir semua komoditas barang diperjual-belikan.

Pasar itu menjajakan dari barang rongsokan, gambir untuk nginang, sayur-mayur, buah-buahan, aneka tekstil dan kain batik dari yang berbahan paling kasar sampai paling halus. Kios-kiosnya campur aduk dengan perdagangan kambing dan sapi. "Sekitar tahun 1940-an, bapak saya sering mengajak saya berdagang buah semangka di pasar itu," kenang Lim Kiat Swie.

Awalnya, posisi Pasar Tanah Abang justru terletak di bagian belakang gedung-gedung pasar yang sekarang ini terbakar. Boleh dibilang, Pasar Tanah Abang yang pertama itu terletak persis di gedung Blok F.

Sejak dulu, pasar itu memang lebih dikenal sebagai sentra perdagangan busana konveksi. Sistem pembeliannya lebih bersifat grosiran, pembelian dalam jumlah banyak.

Sekitar tahun 1972, pasar yang dibangun oleh orang- orang Belanda itu mengalami peremajaan, bahkan lebih tepat dibangun secara lengkap dari Blok A hingga Blok D. Bangunan itu terdiri atas tiga lantai di Blok A-C, sedangkan Blok D hanya dua lantai. "Waktu itu, gubernurnya masih Bang Ali Sadikin," ujarnya.

Demi menyukseskan peremajaan bangunan pasar itu, sebagian besar pedagang itu ditampung sementara di sekitar Jalan Asem Lama (sekarang, Jalan KH Wahid Hasyim). Ada pula sebagian kecil yang ditampung di Kampung Bali, sekitar Pasar Tanah Abang. Praktis, pemindahan itu tidak menemui kesulitan meskipun jumlah pedagangnya sudah mencapai sekitar 1.200 orang.

Dua tahun tahun kemudian, usai peremajaan gedung pasar, para pedagang dipindahkan kembali ke pasar itu dengan tertib dan rapi. Keadaan sekitar pasar, seperti pedagang kaki lima dan lahan parkir, belumlah amburadul seperti sekarang. "Apalagi, jumlah pedagang sekarang mencapai sekitar 7.000 orang," ujar bapak lima anak dan lima orang cucu ini.

Lim Kiat Swie mengakui, kesuksesan perdagangan di Pasar Tanah Abang ini tidak lain adalah akibat dari keharmonisan yang terjalin di antara berbagai suku, antara lain suku Padang, Betawi, Jawa, Tionghoa, Arab, dan India. Akulturasi yang tercipta baik tersebut tak lepas begitu saja dari harmoni dalam kehidupan sehari-hari.

Bentuk keharmonisan itu, tutur Liem, sangat dirasakan ketika seorang pemilik kios warga Betawi asli bernama Amat menawari sebuah kios kecil kepada Lim Kiat Swie. "Pak Lim, pake aja kios gue, tapi keuntungannya dibagi dua ya," kata Lim menirukan ucapan Pak Amat.

Lim mengaku tidak membayar sedikit pun uang sewa kios itu. Dari ikut-ikutan berdagang buah semangka dengan ayahnya, Lim mulai usaha berdagang tekstil. Di pasar inilah, dalam perkembangannya, Lim semakin merasakan persatuan antar-etnis yang luar biasa.

Ia mencontohkan, suatu ketika, seorang pemilik kios di sebelah kiosnya merasakan kesulitan memperoleh stok kain. Orang berlainan etnis itu kehabisan uang untuk membeli stok baru karena utangnya yang dulu saja belum lunas.

Orang itu betul-betul terlihat jujur. Uang sebagai hasil jerih payah berdagang ludes untuk membayar pengobatan salah satu anggota keluarganya yang menderita sakit kronis. Modalnya habis. Sementara, stok barang dagangannya kian tipis.

Kalau mau bersaing secara kasar, bisa saja para pedagang lain tak mau tergerak untuk membantu dia. Biar saja usaha orang itu bangkrut. Apalagi, dia berlainan etnis. Namun, teman-teman sekitar kiosnya, bukan hanya etnis Tionghoa, justru tergerak untuk memberikan "suntikan" modal berupa barang dagangan yang dapat dibayar pada akhir bulan. Waktu terus berjalan. Pasar itu berkembang. Keharmonisan kian dirasakan ketika meletus kerusuhan dahsyat melanda sebagian besar Jakarta, Mei 1998.

Pasar tersebut lolos dari maut penjarahan dan perusakan. Pelbagai suku di pasar itu bersatu mempertahankan agar pasar itu tetap aman. Barisan pemuda-pemuda Betawi berjaga di sekeliling pasar itu. Beberapa pemuda membekali diri dengan senjata tajam, seperti golok dan celurit, untuk mengamankan Pasar Tanah Abang.

PASAR Tanah Abang sebagai pusat perdagangan tekstil terbesar dan termurah di Asia Tenggara kerap diklaim sebagai pasar terkomplet dan termurah. Harga dan kualitas pun berani diadu. Karena itulah, kata Lim Kiat Swie, tidak mengherankan jika transaksi yang terjadi setiap hari luar biasa. Untuk kain kasur, misalnya, truk-truk yang memasok kain dari Bandung (Jawa Barat) bisa mencapai sekitar 50 unit per hari.

Setiap truk mampu menampung sebanyak 30 bal kain masing-masing 1.500 phis. Setiap satu phis kain kasur memiliki panjang 30 yard. Harga per yard sebesar Rp 1.200. Jadi, ujar Lim, pengiriman satu truk saja bisa mencapai Rp 1,62 milyar. Tentu, jumlah transaksi perdagangan kain kasur saja sangat fantastis sekali. Apalagi, setiap hari bisa mencapai 50 unit truk.

Padahal, transaksi itu juga dilakukan untuk bahan-bahan jins yang berharga Rp 13.000-Rp 15.000 per yard. Lalu, pelaku transaksi itu pedagang dari Kota Bogor, Tangerang, Tasikmalaya, Solo, Pekalongan, dan sebagainya. Belum terhitung jumlah truk yang mengirim barang-barang itu ke luar negeri, terutama Mali, Kongo, Gabon (Afrika). Selain itu, transaksi perdagangan tekstil yang cukup fantastis itu juga dilakukan dengan menggunakan mobil-mobil boks (berkapasitas 15 bal).

http://tedoun.multiply.com/journal/item/105

Tidak ada komentar:

Posting Komentar